Jumat, 11 Januari 2008
REKONSTRUKSI NILAI-NILAI MORAL DALAM UPAYA MEMBINA PRIBADI YANG TANGGUH TERHADAP TANTANGAN ZAMAN
(Menyikapi Komodifikasi Pendidikan)
Bidang Kaji : Pergerakan Politik Nilai
RUDIONO
07 RLC 039
PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
REMA LEADERSHIP CENTER
DEPARTEMEN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
BEM REMA UNY
2007
ABSTRAK
Kondisi moral bangsa ini sudah sangat memprihatinkan. Rasanya sudah tidak ada lagi panutan yang dapat untuk kita jadikan sebagai suri tauladan dalam menyikapi kehidupan berbangsa dan bernegara yang nampaknya semakin hari semakin terpuruk. Kondisi ini terkesan dari sikap dan perilaku para birokrat pemerintah yang semakin kurang aspiratif terhadap berbagai tuntutan masyarakat dan sebaliknya masyarakatpun cenderung brutal dan anarkis dalam memperjuangkan haknya. Sehingga yang perlu kita prihatinkan bersama ialah mengapa kondisi yang demikian ini sampai terjadi, bahkan sudah melanda hampir seluruh lapisan masyarakat di negeri ini.
Semakin rumitnya krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia, menuntut usaha yang gigih untuk menemukan jalan keluarnya. Persoalan ini tidak bisa kita selesaikan secara parsial, tetapi harus menyeluruh menyangkut semua aspek kehidupan. Untuk itu ada beberapa tahapan yang seharusnya ditempuh oleh kita bersama.
Pertama, memperbaiki sistem pendidikan yang intinya merupakan pranata pembentukan dan pengembangan nilai-nilai moral. Inilah persoalan paling urgen untuk diperhatikan lebih serius oleh masyarakat dan khususnya kalangan pendidik
Kedua, mengembalikan sistem hukum yang bermoral. Sejak lebih-kurang 200 tahun negara-negara di dunia menggunakan konsep hukum modern, maka pelan-pelan hukum telah memisahkan diri dari moral
Terakhir, peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ini adalah prasyarat ketika pendidikan menjadi faktor penting. Masyarakat tidak akan mampu memperoleh pendidikan yang memadai jika untuk memenuhi kebutuhan hidup saja tidak sanggup.
BAB I
PENDAHULUAN
Kita menyadari, bangsa ini hampir mengalami degradasi moral yang amat parah akibat perilaku segelintir orang yang tak bertanggung jawab; segelintir orang yang tak menyadari bahwa perilakunya telah menyebabkan kehancuran dalam berbagai sendi kehidupan kebangsaan. Perilaku mereka menyebabkan moralitas publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hampir terlupakan. Budaya malu sudah hampir hilang dalam ingatan bangsa ini. Korupsi dan kolusi terjadi di mana-mana dalam segala level kehidupan. Bahkan, seolah-olah dianggap sebagai sesuatu yang wajar, sehingga muncul pemeo, siapa yang tak ber-KKN, ia tak akan mendapatkan apa-apa.
Betapa ironisnya jika kenyataan itu lantas bergerak menjadi kecenderungan utama bangsa ini. Tanda-tanda ke arah sana bahkan sudah muncul dan salah satunya adalah kenyataan di mana sebagian besar orang sudah tidak lagi takut berbuat kejahatan. Mereka tidak lagi merasa perlu tunduk terhadap moralitas. Mengapa demikian? Karena hukum tak mampu memberi kepastian. Hukum ditegakkan atas dasar siapa yang memegang kekuasaan, siapa yang memegang uang. Hukum bisa diperjualbelikan. Hukum bisa direkayasa oleh kaum berkuasa. Hukum bisa dipermainkan sesuka hati si pemilik kekuasaan. Suap-menyuap merupakan hal biasa dalam dunia hukum.
Inilah persoalan yang terjadi dalam kehidupan publik kita dan jarang disadari apalagi direnungkan. Orang tidak takut lagi akan sanksi moral karena moralitas hanya dilihat dalam bentuk mekanik. Dia tak ubahnya sebagai alat, dan tidak dijadikan sebagai bentuk pembatinan nilai. Kenyataan ini membuat persoalan bangsa ini menjadi sulit terselesaikan. Mengapa? Karena kita telah memasuki krisis nilai. Nilai kejujuran sirna karena sikap jujur sudah tidak lagi menjadi sebuah nilai dalam kehidupan publik ini.
Konon sekolahlah faktor utama yang membuat seseorang berhasil, paling tidak itulah yang kita ingat dari pesan-pesan orang tua. Sekolah yang rajin biar nanti bisa jadi orang sukses, begitulah pesan mereka. Semua orang berlomba memperebutkan pendidikan formal. Lalu pertanyaannya, hasrat untuk menikmati pendidikan inilah pula yang mendorong proses komodifikasi pendidikan. Unifikasi dunia dalam sebuah tatanan universal dan ketermarginalan nilai-nilai partikular telah menjadi ciri utama globalisasi.
Di bidang politik muncullah demokrasi sebagai nilai universal, di aras sosial budaya muncullah civil society sebagai cita-cita bersama yang harus diperjuangkan, dan pasar bebas menjadi pondasi nilai dalam tata ekonomi global. Dunia pendidikan juga terkena akibat globalisasi. Percepatan akses informasi tentulah salah satu dari beberapa implikasi positif. Namun, dampak negatif tak bisa dihindari, komodifikasi pendidikan salah satunya. Tepatlah judul tulisan Sindhunata dalam pengantar Basis edisi khusus Pendidikan Juli-Agustus 2000, “Pendidikan Hanya Menghasilkan Airmata”, begitulah katanya. Marilah kita tengok bagaimana sebenarnya pasar bebas pendidikan. Permintaan (demand) akan pendidikan terus meningkat sedangkan negara sebagai instrumen utama penyedia pendidikan murah bagi warga negara sudah tidak memiliki kapasitas, terjadilah kondisi supply jasa yang sangat terbatas. Terjadilah peningkatan harga yang harus dibayar warga negara untuk memperoleh pendidikan. Bahkan institusi pendidikan pemerintahpun tak berdaya meminimalisir biaya pendidikan dan dipaksa menaikkan biaya pendidikan.
Di sisi lain warga negara tak berdaya melakukan “perlawanan” atas keadaan. Pada aras lain memang pasar bebas pendidikan juga ikut mendongkrak kualitas pendidikan secara umum, karena penyedia jasa dituntut untuk memperhatikan kualitas pendidikan, jika tidak mereka akan tergilas. Namun, bila melihat realitas pengorbanan warga negara memperoleh pendidikan dibandingkan dengan kualitas pendidikan yang mereka terima sangatlah ironis. Bila kita perhatikan dengan cermat pendidikan formal masih jauh dari proses humanisasi, justru yang terjadi adalah dehumanisasi. Hal ini tentu tak terlepas dari orientasi pendidikan yang pro pasar. Kalkulasi pendidikan selalu diarahkan pada untung rugi secara ekonomis. Kondisi ini memungkinkan konsumen pendidikan sebagai lahan empuk eksploitasi.
- Bagaimana kondisi moral bangsa Indonesia saat ini ?
- Bagaimana merekonstruksi nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari sehingga komodifikasi pendidikan terhindarkan ?
Penulisan tugas akhir ini bertujuan untuk menambah wawasan dan merekonstruksi nilai – nilai moral bangsa agar tangguh menghadapi tantangan zaman.
Manfaat penulisan ini adalah adanya penanaman nilai-nilai moral dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa. Tulisan ini pula dapat memberikan wawasan mengenai pergeseran moral bangsa sekaligus mengarahkan untuk merubah kearah yang lebih baik.
Kata Moral berasal dari kata latin “mos” yang berarti kebiasaan. Kata mos jika akan dijadikan kata keterangan atau kata sifat lalu mendapat perubahan dan belakangannnya, sehingga membiasakan menjadi “morris” kepada kebiasaan moral dan lain-lain dan moral adalah kata nama sifat dari kebiasaan moral dan lain-lain, dan moral adalah kata nama sifat dari kebiasaan itu, yang semula berbunyi moralis. Kata sifat tidak akan berdiri sendiri dalam kehidupan sehari-hari selalu dihubungkan dengan barang lain. Begitu pula kata moralis dalam dunia ilmu lalu dihubungkan dengan scientia dan berbunyi scientis moralis, atau philosophia moralis. Karena biasanya orag-orang telah mengetahui bahwa pemakaian selalu berhubungan deangan kata-kata yang mempunyai arti ilmu. Maka untuk mudahnya disingkat jadi moral.
Dalam buku The moral judgement of the Child (1923) Piaget menyatakan bahwa kesadaran moral anak mengalami perkembangan dari satu tahap yang lebih tinggi. Pertanyaan yang melatar belakangi pengamatan Piaget adalah bagaimana pikiran manusia menjadi semakin hormat pada peraturan. Ia mendekati pertanyaan itu dari dua sudut. Pertama kesadaran akan peraturan (sejauh mana peraturan dianggap sebagai pembatasan) dan kedua, pelaksanaan dari peraturan itu.
Dalam proses perkembangan moral reasoning dengan enam tahapannya seperti itu berlakulan dalil brikut :
- Perkembangan moral terjadi secara berurutan dari satu tahap ke tahap berikutnya.
- Dalam perkembangan moral orang tidak memahami cara berfikir dari tahap yang lebih dari dua tahap diatasnya.
- Dalam perkembangan moral, seseorang secara kognitif tertari pada cara berfikir dari satu tahap diatas tahapnya sendiri. Anak dari 2 tahap 2 merasa tertarik kepada tahap 3. berdasarkan inilah kohlber percaya bahwa moral reasoning dapat dan mungkin diperkembangkan.
- Dalam perkembangan moral, perkembangan hanya akan terjadi apabila diciptakan suatu diequilibrium kognitif pada diri si anak didik. Sesorang yang sudah mapan dalam satu tahap tertentu harus diusik secara kognitif sehinga ia terangsang untuk memikirkan kembali prinsip yang sudah dipegangnya. Kalau ia tetap tentram dan tetap dalam tahapannya sendiri, maka tidak mungkin ada perkembangan.
Komodifikasi pendidikan merupakan proses transformasi yang menjadikan sesuatu komoditas atau barang untuk diperdagangkan demi mendapatkan keuntungan, seperti maraknya jual beli buku pelajaran lewat sekolah. Komodifikasi ini pula yang menyebabkan terjadinya kesalahan memaknai konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Roh dari MBS adalah mendorong partisipasi seluruh elemen pendidikan dan stakeholders dalam pengelolaan sekolah melalui dewan pendidikan dan komite sekolah. Namun demikian, MBS dimaknai sebatas sekolah boleh menarik berbagai pungutan dana dari masyarakat. Alhasil, MBS pun diterjemahkan menjadi Masyarakat Bayar Sendiri .
BAB II
PEMBAHASAN
Kondisi moral bangsa ini sudah sangat memprihatinkan. Rasanya sudah tidak ada lagi panutan yang dapat untuk kita jadikan sebagai suri tauladan dalam menyikapi kehidupan berbangsa dan bernegara yang nampaknya semakin hari semakin terpuruk. Kondisi ini terkesan dari sikap dan perilaku para birokrat pemerintah yang semakin kurang aspiratif terhadap berbagai tuntutan masyarakat dan sebaliknya masyarakatpun cenderung brutal dan anarkis dalam memperjuangkan haknya. Sehingga yang perlu kita prihatinkan bersama ialah mengapa kondisi yang demikian ini sampai terjadi, bahkan sudah melanda hampir seluruh lapisan masyarakat di negeri ini. Sebenarnya kalau boleh dikatakan inti permasalahannya adalah terletak pada kondisi moralitas bangsa , dimana sikap dan perilaku manusianya yang cenderung egois, sehingga rela mengorbankan nilai-nilai moralitasnya demi mewujudkan ambisi pribadinya. Tidak berlebihanlah kalau dikatakan bangsa ini sedang sakit dan kehilangan arah, karena rasanya sulit mencari figur pemimpin yang dapat digunakan sebagai panutan saat ini.
Ada kesenjangan antara pengetahuan tentang moral dan perilaku. Tragisnya, kita juga membanggakan diri sebagai bangsa yang religius, penganut agama. Kesadaran beragama kita baru menyentuh aspek kognitif. Sementara perilaku kita masih jauh menyimpang dari kaidah moral yang diajarkan agama. Maka, bangsa ini menghadapi berbagai permasalahan moral, seperti korupsi, keserakahan, kebencian, iri hati, ketidakjujuran dan sebagainya.
Untuk menghadapi pembusukan moral dan kebejatan iman ini, yang merupakan sumber utama dari segala kesulitan dan masalah-masalah parah – termasuk korupsi – diperlukan adanya gerakan besar-besaran yang dilakukan oleh bangsa kita. Kita tidak boleh hanya mempercayakan penanganan soal pemberantasan korupsi yang begitu serius ini hanya kepada tokoh-tokoh di eksekutif, legislatif dan judikatif saja (atau, kepada aparat-aparat negara saja) karena sudah terbukti selama ini bahwa justru mereka pun harus dijadikan sasaran gerakan. Dalam gerakan ini perlu diikutsertakan sebanyak mungkin golongan atau kalangan dalam masyarakat, baik yang tergabung dalam partai-partai politik, organisasi massa, LSM maupun perkumpulan-perkumpulan lainnya.
Menumbuhkan Sikap Arif yang Progressif
Semakin rumitnya krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia, menuntut usaha yang gigih untuk menemukan jalan keluarnya. Persoalan ini tidak bisa kita selesaikan secara parsial, tetapi harus menyeluruh menyangkut semua aspek kehidupan. Untuk itu ada beberapa tahapan yang seharusnya ditempuh oleh kita bersama.
Pertama, memperbaiki sistem pendidikan yang intinya merupakan pranata pembentukan dan pengembangan nilai-nilai moral. Inilah persoalan paling urgen untuk diperhatikan lebih serius oleh masyarakat dan khususnya kalangan pendidik.
Pendidikan hendaknya bernilai transformatif; dapat mendewasakan masyarakat, serta mengembangkan kepribadian, intelektualitas, dan keterampilan secara utuh. Selain itu, sistem pendidikan harus mampu membaca dengan jujur kondisi riil dan kebutuhan yang dihadapi masyarakat sehingga benar-benar mampu memberdayakan mereka dalam kehidupan yang majemuk ini. Dengan pendidikan seperti ini diharapkan setiap individu memahami tujuan hidupnya dan mampu berperan secara posistif di tengah-tengah masyarakat.
Pemahaman akan tujuan hidup selanjutnya akan memengaruhi moral seseorang. Bila kita tidak percaya bahwa hidup kita tidak berarti dan tidak ada tujuannya, kita memang tidak perlu membicarakan moral. Moral hanya menjadi penting untuk manusia yang percaya akan artinya hidup dan adanya tujuan hidup yang diberikan oleh Tuhan.
Kedua, mengembalikan sistem hukum yang bermoral. Sejak lebih-kurang 200 tahun negara-negara di dunia menggunakan konsep hukum modern, maka pelan-pelan hukum telah memisahkan diri dari moral. Praksis hukum menghadapi pertanyaan yang sifatnya spesialistis, teknologis, bukan pertanyaan moral. Keadaan yang demikian itu sangat kuat tampak pada hukum sebagai profesi. Kaum profesional adalah orang-orang yang ahli dalam perkara perundang-undangan, tetapi jangan tanyakan kepada mereka urusan moral atau moralitas. Ekses praktik hukum di Amerika yang sudah menjadi bisnis mengundang orang untuk berkomentar, bahwa sifat kesatriaan, menolong orang yang susah, sudah semakin luntur. Memang hukum modern, yang sudah menjadi teknologis dan profesionalistis, semakin mengalami deregulasi moral. Sejak itu hukum sudah kehilangan bobotnya sebagai institusi moral dan keadilan. Kualitas seperti itulah kira-kira yang akan kita hadapi pada tahun 2003, yaitu saat kebebasan global akan memberikan kesempatan para lawyer asing berhamburan ke Indonesia.
Kalau memang hukum modern mengalami deregulasi moral, salah satu tugas yang kita hadapi adalah bagaimana mengembalikan sisi moral dari hukum itu ke tempatnya. Kita dapat membayangkan bagaimana akibatnya apabila dimensi moral tersebut terabaikan.
Terakhir, peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ini adalah prasyarat ketika pendidikan menjadi faktor penting. Masyarakat tidak akan mampu memperoleh pendidikan yang memadai jika untuk memenuhi kebutuhan hidup saja tidak sanggup.
Setelah memetakan beberapa masalah terbesar dari bangsa ini, Cak Nur, dengan sangat teliti, memberikan solusi atas kebuntuan Indonesia. Senada dengan konsep nation-state, paling tidak, terdapat dua kata kunci guna menuju Indonesia yang lebih baik.
Pertama, keadilan dan keseimbangan. Adil dan seimbang menganut paham kesamaan, non diskriminatif, dan memiliki sikap saling percaya. Adil adalah juga terbuka, yaitu tidak mengizinkan siapa pun untuk melakukan pemaksaan. Kekuasaan yang diemban oleh pemerintahan otoriter, yang hampir seperempat dari umur negara ini, membuat timpang kebijakan. Kebijakannya relatif diskriminatif. Siapa yang dekat dengan lingkungan penguasa, apalagi keluarga, maka mudah dalam segala hal. Hal demikian tidak boleh terjadi lagi pada Indonesia masa depan. Keadilan dan keseimbangan adalah hukum jagad raya. Melanggar keadilan dan keseimbangan adalah melawan kosmis, sehingga bencana yang diakibatkannya pun akan berdimensi kosmis, bersifat menyeluruh.
Menurut Cak Nur, Mengutip Ibn Taymiah, hukum keadilan dan keseimbangan adalah hukum alam dari Tuhan. Pengoperasiannya tidak tergantung pada keinginan manusia dan tidak bisa diubah. Maka, negeri yang adil dan berkeseimbangan akan tegak berdiri. Sebaliknya, negeri yang tidak adil dan tidak berkeseimbangan akan runtuh, lepas dari soal siapa dan apa agama penduduknya (hal. 86).
Kedua, penegakan moral. Sesuai dengan petunjuk agama bahwa asas hidup yang benar, termasuk hidup kenegaraan, ialah takwa dan ridla Allah. Takwa ialah menyadari dengan penuh bahwa Tuhan hadir dalam setiap kegiatan. Tuhan mengetahui, mengawasi, dan akan meminta pertanggungjawaban setiap perilaku. Dengan kesadaran itu, seseorang akan terbimbing ke arah budi pekerti luhur atau akhlak mulia, sebagai prasyarat kebahagiaan lahir dan batin.
Kemerosotan moral adalah penyebab hancurnya bangsa-bangsa di dunia. Maka, usaha menegakkan standar moral merupakan salah satu urgensi bagi negara kita. Lemahnya standar moral inilah yang menyebabkan kita sekarang mengalami krisis multidimensional.
Masa Depan Indonesia Ditentukan Oleh Kesadaran Dan Moral Beragama.Layaknya sebuah cita-cita yang indah kehidupan manusia didalam suatu bangsa diantara bangsa-bangsa lain di dunia yang sedang mengalami arus globalisasi, maka pola hidup beragama tetaplah manjadi pegangan hidup kita.
Halangan terbesar di lingkungan masyarakat yang majemuk ialah adanya Sang AKU yang begitu besar, sehingga mudahnya lupa terhadap ajaran agamanya. Di zaman modern pola hidup beragama masih tetap relevan, dan berguna sepanjang masa. Apalagi saat ini Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, populasi penduduk cukup besar, pasar domestik yang besar, geografis yang strategis diantara dua benua yang besar.
Dalam hal ini Pendidikan dengan Wajah Kemanusian Komodifikasi pendidikan memiliki hubungan erat dengan proses dehumanisasi pendidikan. Industrialisasi pendidikanlah yang kemudian jadi picu utama dehumanisasi pendidikan. Maka diskusi harus kita lanjutkan, bagaimana menghadirkan wajah pendidikan yang “dermawan” dan humanis ? Pada tahap awal yang perlu dibincangkan adalah bagaimana mendesakkan pada negara untuk melaksanakan amanah undang-undang dasar. Negara harus menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas secara massal sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tentulah ini juga terkait dengan dukungan dana, dua puluh persen anggaran pendidikan sekiranya harus direalisasikan secara penuh di semua level, baik nasional maupun daerah. Strategi meminta dukungan negara tentulah lebih bersifat strategi “pasif”, karena meski prosesnya aktif melakukan tekanan, tapi muaranya tetap harus menunggu kebijakan negara. Maka perlu pula dibincang strategi aktif melahirkan pendidikan yang tidak pro pasar dan bersifat humanis. Pendidikan pro publik rasanya tidak bisa kita harapkan hadir begitu saja, kaum marjinal tidak akan mendapatkannya secara cuma-cuma. Wajah beringas pasar bebas tentu akan memangsa yang lemah, karena yang kuatlah yang akan menang. Sekolah pro publik harus hadir dengan beberapa ciri dasar.
Pertama, sekolah pro publik harus berbasis keswadayaan masyarakat. Pengelolaan sekolah terutama keuangan harus dilakukan oleh masyarakat, hingga merekalah yang menentukan biaya pendidikan, bukan lagi kalkulasi pasar yang berorientasi keuntungan.
Kedua, adanya kurikulum berbasis kebutuhan lokal. Sekolah pro publik ada dan mengada dengan mempertimbangkan faktor sosial budaya komunitas yang ada di sekitarnya.
Ketiga, nilai-nilai pengajaran berpondasi kearifan lokal. Sebagai bentuk resistensi atas nilai global yang negatif maka kearifan lokal dapat dijadikan senjata. Pendidikan pro publik bukan dimaksudkan untuk menjadikan pendidikan bersifat partikular tetapi sebagai upaya humanisasi pendidikan di tengah pasar bebas pendidikan yang melahirkan komodifikasi pendidikan. Akhirnya semoga pendidikan ke muka tidak lagi hanya melahirkan air mata bagi warga Negara.
PENUTUP
Kesimpulan
Kondisi moral bangsa ini sudah sangat memprihatinkan. Rasanya sudah tidak ada lagi panutan yang dapat untuk kita jadikan sebagai suri tauladan dalam menyikapi kehidupan berbangsa dan bernegara yang nampaknya semakin hari semakin terpuruk. Kondisi ini terkesan dari sikap dan perilaku para birokrat pemerintah yang semakin kurang aspiratif terhadap berbagai tuntutan masyarakat dan sebaliknya masyarakatpun cenderung brutal dan anarkis dalam memperjuangkan haknya.
Untuk itu ada beberapa tahapan yang seharusnya ditempuh oleh kita bersama Pertama, memperbaiki sistem pendidikan yang intinya merupakan pranata pembentukan dan pengembangan nilai-nilai moral Kedua, mengembalikan sistem hukum yang bermoral. Terakhir, peningkatan kesejahteraan masyarakat
Penanaman nilai nilai moral yang mendasar adalah hal yang segera kita lakukan agar masa depan bangsa Indonesia ini tidak terlalu parah. Kesadaran untuk menghindari niat jahat berawal dari kekuatan iman dan moral yang dimiliki seseorang.
Andriani Purwastuti,dkk. 2002. Pendidikan Pancasila.Yogyakarta : UNY Press
Ari Ginanjar Agustian. 2005. ESQ. Jakarta : Arga
Burhanuddin.1997.Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta: Rineka Cipta
Eko Prasetyo. 2006. Guru : Mendidik itu Melawan. Yogyakarta : Resist Book
Sumitro, dkk. 2006. Pengantar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta : UNY Press
Labels: komodifikasi pendidikan, leadership, Nilai-nilai moral
0 komentar:
Posting Komentar